Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Bus Transjakarta melintas di kawasan Kota Tua, Jakarta (19/12/2019). Sebelum memotret bus ini, rasanya sedikit takut campur marah karena kena catcall dari penjual otak-otak dekat Museum Bank Indonesia. Foto: Nadia K. Putri

7 Pengalaman Kena Catcall, Pernah Alami Ini Nggak?

BTS

Masih ada pelaku catcall yang membuat kita kena catcalling. Menurutmu, apa sih rasanya mendapatkan pengalaman kena catcall seperti ini?

Sejak SMA, saya senang sekali pulang jalan kaki. Jalan kaki jadi hobi menyenangkan, apalagi kalau bersama teman-teman. Sayangnya, jalanan nggak seaman yang dikira.

Saat SMP, saya pernah diganggu sekelompok sopir bus yang nongkrong di warung kopi. Itu terjadi di Balige, Sumatera Utara. Saat itu saya mau pergi ke warnet untuk cetak tugas. Bagaimana rasanya saat itu?

[WARNING! Tulisan ini mungkin akan memicu trauma. Bijaklah sebelum atau sesudah membaca]

1. Marah

Pengalaman kena catcall itu, jelas marah. Siapa sih yang nggak terganggu konsentrasinya saat kena catcall? Apalagi kondisi jalan trotoar sering berlubang, karena nggak ditutup ubin. Ditambah lagi misalnya banyak pasir yang bisa-bisa masuk ke sepatu atau sandal.

Bagaimana kalau terpeleset kalau ada sampah yang berserakan? Toh juga mengganggu konsentrasi kan?

Beruntung kini sudah banyak yang berani menghampiri pelaku catcalling. Catcaller memang harus dibuat malu, supaya sadar, tindakannya di jalanan itu bisa membahayakan keselamatan.

Sayangnya… kalau pelaku dalam gerombolan bagaimana menurutmu?

2. Kesal

Kesal mungkin bisa dilampiaskan dengan menggerutu, mengomel, dan memasang muka jutek. Apalagi mendapatkan pengalaman kena catcall. Sayangnya, kekesalan itu nggak semua lepas dilampiaskan. Paling hanya bisa bercerita. Mungkin ada juga yang langsung menghampiri pelaku, tapi bagaimana?

Saya juga pernah kesal sampai badan rasanya keringatan gara-gara kena catcall. Pelakunya penjual otak-otak di daerah Kota Tua, tepatnya dekat pagar Museum Bank Indonesia. Saya sampai bolak-balik memastikan, ini orang bukan sih?

Bus Transjakarta melintas di kawasan Kota Tua, Jakarta (19/12/2019). Sebelum memotret bus ini, rasanya sedikit takut campur marah karena kena catcall dari penjual otak-otak dekat Museum Bank Indonesia. Foto: Nadia K. Putri
Bus Transjakarta melintas di kawasan Kota Tua, Jakarta (19/12/2019). Sebelum memotret bus ini, rasanya sedikit takut campur marah karena kena catcall dari penjual otak-otak dekat Museum Bank Indonesia. Foto: Nadia K. Putri

Gara-gara itu, saya nggak sengaja memotret bus Trans Jakarta yang melintas. Bus itu  bertuliskan “Kini Lebih Baik”. Saya jadi pesimis, kapan kondisi keamanan di jalan lebih aman tanpa kena catcall?

Baca juga: Kena Semi-Catcall sebelum Memotret Khitanan Massal

3. Maki

Memaki, mungkin hanya untuk sebagian orang. Namun bisa menjadi alternatif untuk melampiaskan kekesalan. Waktu di-catcall sekelompok supir bus itu, saya memaki dalam hati. Lalu merasa bersalah.

Kenapa nggak menghampirinya?

Saya belum punya kekuatan. Pengetahuan tentang hak rasa aman di jalan, menghadapi orang asing, dan yang berkaitan itu masih minim. Ibu saya hanya mengajarkan, kalau ada orang asing yang menyapa di jalan, jangan dibalas. Tatap matanya. Lalu jauhi atau abaikan.

Saya yang SMP waktu itu akhirnya memutuskan mengenakan kerudung, full. Kenyataannya, pakaian ini juga belum tentu melindungi. Doa-doa yang dilantunkan hanya menjaga dan nggak bisa saya kontrol sepenuhnya. Saya betul-betul pasrah pada Allah. Tapi juga malas mendengar kata orang seolah-olah membatasi seperti ini.

“Lagian sih jalan sendirian.”

“Ngapain sih pergi jauh nggak bareng teman?”

“Kamu pakai baju terang kali? Jadinya kamu digodain kan?”

“Kenapa nggak ajak aku (sebagai teman) saja?”

“Kamu itu perempuan. Harus di rumah!”

“Pergilah bareng mahram!”

“Rok kamu tuh, jadinya kebentuk kan.”

Dsb, dsb.

Kalau mahram lu nggak ngerti tujuan, kegiatan, dan kerjaan lu, sama aja malih! Why don’t you support and give trust each other? Kalimat tersebut ringan betul diucapkan tapi minim empati.

4. Kutuk

Mengutuk adalah tindakan yang paling bisa saya lakukan saat SMA. Saya bukan yang rajin beribadah, tapi saya yakin doa akan menunjukkan jalan. Sambil berdoa, sambil mengutuk agar para pelaku dapat balasan. Paling nggak sekarang, nanti.

Ketika saya kuliah, banyak sekali informasi bertumpah-ruah. Mulai dari kesetaraan gender, menghadapi trauma, akses pendidikan untuk perempuan dan orang terpinggirkan, agama dan masyarakat, hubungan beracun (toxic relationship), negosiasi, dan sebagainya. Informasi ini perlahan membentuk benteng keselamatan.

Saya pernah jadi saksi dengar saat seorang teman di kosan jadi korban pelecehan seksual karena payudaranya diremas. Ia pulang kuliah, jalan kaki sekitar pukul 7 malam. Pelakunya bocah alay.

Memang begitu bahayanya. Pelaku memanfaatkan kelemahan orang lain. Teman saya berteriak protes dan marah besar saat menelpon orang tuanya. Sampai terdengar satu kos. Meringis dengarnya. Bukan saatnya menghakimi pakaian dan jam pulangnya.

5. Tatap balik

Saat kuliah, saya coba magang. Alhamdulillah dapat satu kantor yang bersedia menerima. Saya bekerja sebagai periset foto dan belajar meliput foto berita di lapangan. Di sinilah saya trigger atas trauma-trauma pengalaman kena catcall.

Waktu itu, hari terakhir magang liputan di sebuah lembaga anti rasuah. Seperti biasa, bawaan barang cukup berat. Nggak sanggup lagi deh mikir berat-berat. Saya bergegas supaya pak ojek online (ojol) nggak menunggu lama. Tiba-tiba dari arah turunan, saya dengar siulan.

Langkah saya terhenti dan putar balik. Saya tatap balik pelaku. Meskipun gelap, saya harus pastikan siapa pelakunya. Kepala pusing, laper hhh. Ganggu! Kalau lensa tele masih lengket di kamera, bye!

Persisnya lupa si pelaku bilang apa. Saya sampai kepikiran di motor ojol. Siapa sih orangnya? Apa salah saya? Saya yakin betul kalau itu satpam. Tapi saya juga yakin kalau itu wartawan. Eh eh, terus siapa?

6. Freezing

Diam, membeku, atau freezing ternyata juga perlawanan. Tubuh manusia dirancang untuk melawan musuh yang datang spontan. Termasuk pelecehan ke ranah kontak fisik.

Masih di satu lokasi, ada satu videografer menyambut saya. Tetapi, dia justru menyentuh pundak dengan sok akrabnya. I feel so disgrace. No consent atau izin. Padahal, mengobrol saja jarang. Bisa kan cukup say hi saja?

Nggak habis pikir, bagaimana ya dengan teman-teman di sana? Mengetik cerita ini juga merinding. Kenapa bisa ya mendapatkan pengalaman kena catcall seperti ini?

7. Lapor dan cerita

Butuh waktu 3-4 bulan untuk menceritakan ini ke Instagram Never Okay Project @neverokayproject. Akun ini menginisiasi untuk melawan pelecehan seksual di tempat kerja. Butuh 2 bulan juga saya akhirnya konsul ke psikolog di klinik kampus.

Tetapi, butuh berbulan-bulan pula pergi sendiri. Mencoba, benar nggak sih jalanan itu nggak aman? Saya coba ke daerah Ancol, Jakarta Utara (yang mungkin nggak aman buat sebagian orang) untuk latihan memotret jalanan.

Memang ada catcall. Lebih ke, menatap janggal. Seharian itu rasanya capek betul bermuka jutek.

8. Repeat

Marah, kesal, maki, kutuk, tatap balik, cerita, repeat. Saat saya dan teman-teman berwisata ke Kampung Pelangi Semarang, ada bapak-bapak menggoda kami dari arah kompleks kuburan.

“Kamera, kamera, kamera!” ujarnya sambil tertawa. Padahal sedang di kuburan warga dan tempat wisata pula!

Kalau masih ada orang bertanya soal pakaian.. Pakaian kami nggak menyalahi aturan. Semua berkerudung. Bahkan ada dua orang teman berkerudung panjang sekali. Eh alah, tetap juga!

Jadi, salah siapa? Yuk cerita pengalaman, tanggapan, dan kemarahanmu di kolom komentar! Siapa pun yang pernah mengalaminya, kamu berharga. Kamu nggak salah 😊 Terima kasih sudah bertahan dan bercerita.

In case you need more support and virtual hug, this will be relieve your heart. Read more on:

5 Comments on “7 Pengalaman Kena Catcall, Pernah Alami Ini Nggak?”

  1. Wah menarik juga ya. Pernah liat di mana gitu kalau freezing itu bisa jadi pelakunya malah merasa lebih “leluasa”, tapi gatau deh itu bener apa nggak. Sorry, tapi penasaran, menurut mbak apa aja sih perilaku yang dikategoriin sebagai catcall? Biar gue belajar juga niih. Hohoho.

    • Hmm, perilaku catcaller ya. Kalo dari pengalaman saya itu kayak: menyiul, menatap tajam dari atas sampai bawah, memanggil nama dengan sebutan yang ga seharusnya, menghadang, menguntit/mengikuti, dsb. Kayaknya ini bagus deh buat dibahas, gimana kira-kira?

  2. Halo Nadia, terimakasih sudah menulis. Pasti berat ya rasanya menulis sambil mengingat kembali pengalaman tidak enak di masa lalu. I am sorry to hear that.

    Kalau aku boleh bagi pandangan, sebagai laki laki gue merasa rasa cukup (secure) secara batin dan pikiran adalah bekal penting laki laki agar mereka tidak melakukan pelecehan seksual. Maksudnya, laki laki yang needy dan insecure sama diri, mereka akan mencari pelarian karena dirinya merasa “kurang”, yang kebanyakan mereka lari ke hawa nafsu. Nafsu itu ga akan ada ujungnya. Rasionalitas mereka sering kalah dengan nafsu mereka. Itulah mengapa ada laki laki yang jadi fakboi, cat calling, atau bentuk nafsu lainnya.

    Sebagai pria, gue ngerasa gue ga butuh nafsu untuk membuat diri gue senang dan merasa cukup. Ada banyak masalah hidup yang lebih prioritas, yang lebih memacu adrenalin gue dibanding memacu adrenalin dan kepuasan dengan pelecehan seksual.

    Ada yang bilang konsensus itu penting, gue sepakat. Tapi dalam beberapa hal gue ga sepakat sama pandangan ini. Misal kayak, berfantasi sambil solo playing toh ga ganggu siapa siapa, atau seks pra nikah dengan konsensus. Gue merasa ga mau menempatkan kebahagiaan dan rasa aman gue dengan hawa nafsu, selain memang hal kaya gitu dilarang agama gue

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *