Bertamasya ke kebun binatang terkenal di Jogja memang menyenangkan. Apalagi kalau naik gajah tunggang Jogja. Tapi, kenapa harus gajah tunggang Jogja ya? Inilah ceritanya.
Tepat pukul 10.45 siang, salah satu kebun binatang terkenal di kota Jogja padat. Kebetulan waktu itu sedang masa libur anak sekolah. Saya nggak sabar menunggu ayah yang antre beli tiket.
Hampir 9 tahun nggak berkunjung kembali ke kebun binatang. Terakhir, kebun binatang di Pematang Siantar rutin disambangi. Kondisinya nggak begitu baik. Beda dengan kebun binatang yang saya kunjungi di Jogja. Rapi, berwarna, dan teratur.
Fasilitas kebun binatang ini berupa kursi roda, kereta bayi, gelang identitas anak, dan akses WiFi gratis. Ditambah lagi suasana rindang dan ramah untuk berpiknik. Rasanya seperti kembali ke masa kecil yang enteng bepergian tanpa ingat “demi konten” 😊
Saya dan ayah mampir ke area kandang gajah. Lapangan berbentuk lingkaran luas, dipisah parit selebar 1 meter, dan pagar beton setinggi dada orang dewasa terlihat membentang. Pengunjung memenuhi area hanya untuk melihat gajah-gajah makan siang.
Kalau masih kecil, saya bakal girang melihat gajah-gajah menyambut. Ditambah keinginan untuk menungganginya, ditemani pawang gajah berpengalaman dan punya ikatan batin. Nggak bakal takut jatuh karena gajah tunggang Jogja jinak. Eh tapi gimana ya perasaan gajah saat ditunggangi penumpang tanpa consent?
Jadi ingat literatur tentang gajah. Sebenarnya, habitat idealnya di alam liar. Dari segi pasokan pangan sangat melimpah. Apalagi gajah senang makan rumput, mungkin saja nggak semuanya tercerna baik. Akhirnya, kotorannya dibiarkan alami.
Berbeda kalau di kebun binatang. Ada petugas khusus bertanggungjawab mengurus kotoran gajah ini. Baru kemarin saya baca soal kotoran gajah di kebun binatang. Jumlah kotoran per hari bisa sampai ratusan kilogram (Tempo).
Soal baunya? Nggak komentar deh. Mendekati area gajahnya saja pesingnya bukan main.
Ditunggangi tanpa consent, gimana rasanya?
Masih di tahun 2019, saya ingat ada salah satu pengguna Instagram yang mempublikasi ulang masalah sanctuary berkedok wisata dan pertunjukan. Sanctuary atau biasa dikenal kawasan suaka margasatwa adalah wilayah yang digunakan untuk melindungi, merawat, dan mengembangbiakkan satwa liar yang sudah terancam punah (Bobo). Misalnya gajah.
Saya kira, suaka margasatwa hanya dikelola pemerintah. Tetapi ada juga perorangan atau pribadi. Di sini masalahnya. Kadang, ada beberapa suaka margasatwa pribadi yang menyisipkan pertunjukan gajah tanpa memperhatikan keamanan dan perlakuannya.
Tapi karena dilatih dan mungkin dipaksa, gajah akan terbiasa. Apalagi kalau pakai pawang gajah. Lalu, gajah ditunggangi wisatawan yang sayangnya belum paham benar gimana etika memperlakukan hewan langka.
Gajah memang nggak bisa berbicara. Ditunggangi tanpa persetujuan atau consent, gimana rasanya?
Saya ingat, beberapa artikel dan video menceritakan penderitaan gajah. Raut wajahnya berbeda. Dan, kita nggak pernah tahu perlakuan sebelumnya yang pernah didapatkan gajah. Apakah dipaksa pisah dari induknya? Disiksa dengan rantai? Atau dibiarkan kurus tanpa makanan dan minuman layak? Nggak kebayang deh.
Gajah pun mati
Foto gajah tunggang Jogja 2019 itu mengingatkan saya pada berita gajah mati misterius di Botswana 2020. Pertama kali saya lihat di beranda Instagram. Media massa daring menyatakan bahwa berita gajah mati ini masih belum diketahui pasti penyebabnya (Kumparan).
Sementara dari BBC Indonesia, pengawas taman nasional mencatat 350 ekor gajah mati misterius.
Gimana etika di kebun binatang?
Saya tahu saya syok waktu itu. Kebun binatang itu masih mengadakan gajah tunggang Jogja. Semacam flashback dengan apa-apa yang saya baca.
Mungkin kamu nggak heran kalau masih ada pengunjung yang santuy-nya lempar gorengan, kulit kacang, sampah, atau you name it ke area kandang gajah. Berharap, si gajah tunggang Jogja mau makan. Mau, tapi nggak cocok. Kecuali petugas kebun binatang memberikan kacang khusus gajah. Dan kamu bersedia menyodorkan tangan, lalu belalai akan menyedotnya. Rasanya geli ditarik gimana begitu.
Terus gimana dong cara bersikap di kebun binatang dan memperlakukan hewan liar dan langka di kebun binatang?
1. Jangan tergiur iklan
Kalau menurut sebuah artikel di Guardian, jangan gampang percaya iklan yang menampilkan pertunjukan, tingkah nggak alami (melukis, menari, main bola), atau trik-trik mirip sirkus ke gajah. Itu sama sekali nggak natural. Jangan kunjungi tempat itu.
2. Tolong, jangan tunggangi gajah
Gajah itu hewan terancam punah. Jumlahnya sedikit. Bahkan di Botswana saja, 300-an mati misterius di taman nasional. Habitat liar lho, bayangkan.
Gimana kalau ditunggangi dan disoraki pengunjung karena keren? Gajah tertekan. Gajah juga kena cedera tulang punggung. Tulang punggungnya dibangun dari tonjolan tulang tajam dan dilapisi jaringan tipis. Apa kabar kalau dibebani pelana supaya pengunjung bisa duduk sambil swafoto di atas gajah?
3. Jangan mengorbankan hewan demi konten
Hewan di kebun binatang mungkin sudah mengalami proses penjinakan (domestifikasi). Tapi sebenarnya, insting liar mereka masih ada. Amit-amit kalau diterkam atau diamuk. Malah jadi korban dan konten kamu… gagal.
4. Semua berhenti di kamu
Bukan buat menggombal. Tetapi benar adanya. Pengunjung yang makin teredukasi soal memperlakukan hewan liar, apalagi gajah. Maka, ada kemungkinan untuk nggak bakal berpartisipasi ke acara-acara yang “melatih” hewan liar ini. Entah itu sirkus, pertunjukan atau wisata di sanctuary dan kebun binatang.
Penyedia gajah tunggang di tempat wisata akan berhenti, karena pendapatan menurun. Dan akan menyelamatkan gajah. Semua berhenti di kamu dan saya juga, sebagai pengunjung.
Dari foto gajah 2019, saya belajar soal memperlakukan hewan. Butuh satu tahun untuk mencernanya. Cerita tamasya di kebun binatang ini bisa dibaca lanjut di “Jelajah Singkat Jogja”. Foto ini juga direproduksi untuk proyek The Voice of Voiceless Project.
Lihat binatang di kebun binatang aja aku suka kasian. T___T Ngga tinggal di habitatnya.
Tapi ngga tau juga kalau binatangnya hepi hehehe. Aku sendiri sih seneng ke kebun binatang.