Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Buka Puasa dan Cabe Rawit

Gara-gara cabe rawit ini pulalah yang membuatku nyengir ketika kami tertawa bersama sambil buka puasa. Apa pengalamanmu buka puasa dengan cabe rawit?

Alhamdulillah, perut sudah kenyang dipenuhi oleh menu buka puasa yang dilahap haaapp bersama Dedek, opa dan oma. Jadinya sih, malam ini belum ngerasa lapar. Maksudnya, lapar karena belum makan malam. Hehehe…

Ada yang membuatku tergelitik saat berbuka puasa.

Pertama, Dedek berinisiatif untuk membeli gorengan yang ada di Indomaret. Awalnya sih, inisiatif Dedek itu disetujui oma. Sehingga oma menyuruh Dedek membeli gorengan seperti tahu, tempe, dan ubi. Aku yang sedang kekenyangan dan mual – gak pengen makan bukaan lebih banyak lagi – malah ingin makan gorengan. Apalagi aku kangen makan tempe goreng. Akhirnya, Dedek cabut dari rumah dengan sepeda motornya untuk membeli gorengan.

Setelah beli gorengan… Aku, opa, dan oma langsung menyerbu gorengan yang tampak menggoda. Tampilannya mah gorengan biasa, tapi rasanya ngangenin *lebay ah. Apalagi ada menu baru yang akan kucoba dalam lidah, ubi goreng. Aku nggak suka ubi goreng, sukanya singkong goreng. Oke, tapi kali ini tampilan ubi gorengnya sangat bersahaja dan nggak ada banyak embel-embel berupa kerak goreng kayak ayam goreng KFC. Kerak goreng ubi goreng ini biasa saja. Nampaknya nggak menarik banget ini ubi goreng -___-.

Tapi… setelah kuambil satu dan kugigit. Dan gorengan itu terkunyah, rasanyaa….

Enak!!

Lidahku nggak bohong atau bohong yaa?? Hahaha.

Baca juga: Pilih yang manis atau yang segar?

Rasanya enak!! Tampilannya aja yang nggak enak! Hahahaha.. Ternyata ubi goreng itu enak, sama seperti singkong goreng. Hanya saja bedanya, ubi gorengnya lembut dan nggak terlalu banyak kerak goreng. Sedangkan singkong goreng agak keras karena kerak gorengnya banyak. Atau mungkin cara pengolahan ubi dan singkong yang berbeda menghasilkan rasa yang berbeda pula *weleh-weleh* *ini mah promosi Tahu Sumedang depannya Indomaret*.

Ah, itu yang membuatku tergelitik.

Yang kedua, ini lebih konyol dan membuatku flashback waktu SD kelas 6. Flashback beberapa menit saat buka puasa. Duh, masih ada hubungannya dengan makan memakan gorengan bersama-sama. Namun, ini sesi pertengahan makan gorengan. Dimana perut terasa mendapatkan kepuasan kenyang dengan nilai 9. *Hukum ekonomi deh kayaknya.. Apa ya?* Hmm.. ini sangat sederhana dan remeh.

Gini.. Saat aku sedang melahap ubi goreng, aku melihat Dedek makan tahu goreng dengan teman makan cabe rawit hijau. Artinya, dia makan tahu goreng bersamaan dengan cabe rawit hijau. Ketika Dedek makan cabe rawit, oma melihatnya dengan meringis dan berkomentar pula.

“Nggak pedas rasanya, Dek?” tanya oma. “Oma kalau makan itu pedas sekali rasanya.”

Dedek menggeleng. Sedangkan aku keheranan. Kenapa oma, orang Padang tulen, heran melihat cucunya yang makan cabe rawit hijau. Salah apa? Opa saja yang sesama Padang nggak heran-heran amat tuh. Apa mungkin.. Oma nggak pernah makan cabe rawit hijau kali ya? Hayoo…

“Emang kenapa oma?” tanyaku. “Kan biasanya kalo makan gorengan pake cabe rawit hijau,” jelasku sambil mengunyah ubi goreng.

Apa tu.. Ngapain oma makan cabe rawit tu. Pedas sekali rasanya,” cetus oma. “Pakai cabe rawit tu orang Jawa biasanya. Masakan Jawa apa-apa pakai cabe rawit.”

Waduh duh.. Nyinggung orang Jawa nih. Eh, iya juga sih, orang Jawa biasanya dan kadang-kadang suka makan cabe rawit mentah-mentah. Termasuk tradisi sambel uleg. Bisa saja kan?

Boh, bukannya orang Padang makan segala cabe oma?” ceplosku. Wah! Kalo orang Padang makan segala cabe, berarti cabe merica, dimakan juga?

Ndak tu. Orang Padang nggak makan cabe rawit,” kata opa.

“Tapi cabe rawit dipakai juga untuk masak gulai. Kadang-kadang juga tu orang kita makan cabe rawit,” tambah oma.

“Oo..,” kataku.

Sedangkan adikku sibuk dan masih asyik makan tahu goreng dengan cabe rawit. Dia enjoy banget makannya, nggak merah pun mukanya, merah karena kepedasan. Kalo opa, dia ikut-ikutan makan cabe rawit. Tapi.. Ampuun!! Merah!! Hahaha.. Opa tertawa ketika aku bilang wajahnya merah. Kami semua tertawa bersama, termasuk Dedek yang ikut nyengir juga gara-gara perkara cabe rawit.

Ketika opa makan gorengan pake cabe rawit juga, oma ikut nimbrung. Ngambil cabe rawit dari plastik, membelah cabe rawit menjadi dua. Dan mengoleskan satu belahan cabe rawit ke tempe goreng. Mengoleskan satu belahan cabe rawit ke tempe goreng, dan mungkin yang tertinggal hanyalah zat kaipsin dan biji cabe rawit yang putih. Ada air-air nya yang bakalan bikin jari tangan oma kepedasan juga. Setelah dioleskan, oma memakan tempe goreng tersebut. Rasanya?

Padeh bana rasonyo (Pedas sekali rasanya, bahasa Padang).”

Oalaahhh…. Ternyata cara kedua makan cabe rawit itu, rasanya sama ya. Pedas juga. Inilah yang membuat aku, Dedek dan opa tertawa lepas melihat oma yang lugu soal dunia cabe rawit dan cara memakannya. Sebenarnya, oma ngerti. Cuma nggak mau makan cabe rawit seperti Dedek. Mungkin pedas, atau oma menderita penyakit dan dokter melarang makan cabe terlalu pedas.

Ya, kesimpulannya, kukira orang Padang makan cabe rawit se-frontal orang pada umumnya. Orang Padang makan cabe rawit juga, tetapi jarang. Mungkin karena cabe rawit adalah induk dari segala cabe, selain itu pedesnya kebangetan. Sehingga yang makan cabe rawit bisa saja emosinya melambung jauh, eh melambung tinggi. Saking pedesnya juga, cabe rawit serasa membakar lidah. Termasuk orang yang senang makan rujak buah sih. Kalo rujak cengor (cingur, bahasa Maduranya) pake cabe rawit juga nggak ya?

Ah, yang penting semua suku dan semua manusia di Indonesia makan cabe, segala cabe. Kecuali bule tertentu yang nggak makan cabe *halah*. Bule ada juga yang makan cabe, tapi nggak sampai makan cabe rawit juga kali.

Baca juga: Anak Cabe

Gara-gara cabe rawit ini pulalah yang membuatku nyengir ketika kami tertawa bersama sambil buka puasa. Ah, masa waktu kelas 6, aku harus meraung-raung ke belakang kelas dengan muka padam gara-gara makan cabe rawit dan donat sekaligus? Huaaaaa!! Malu banget!”

Aaak! Masa makan cabe rawit, makan donat pula. Alasanku dulu sih, biar nggak pedas. Eh malah tambah pedas. Air minum tinggal sedikit pula. Masya Allah, gilak yaa.. Trauma makan cabe rawit jadinya.

Hahahaha… 😀 Itulah pengalaman buka puasaku tentang cabe rawit. Kalo pengalamanmu apa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *