Efek Hiatus dan Instagram
Jika awal membuat blog ini bertujuan untuk menulis dan berbagi pengalaman, maka selanjutnya akan mengalami kebosanan-kebosanan. Entah itu berhenti menulis, atau merasa insecure, atau bahkan mencari kesibukan lain.
Kesibukan lain, namanya fotografi pun ditekuni. Hingga kini, menjadi fotografer sungguh mudah, tapi pakai tanda petik ya. Coba deh browsing sebentar aja, ada banyak wadah untuk menampung karya dan berkumpul dengan sesama fotografer. Satu di antara yang tenar adalah Instagram, sisanya adalah khusus bagi fotografer yang serius dan benar-benar profesional.
Awal masuk kuliah tahun 2013 lalu saya mendaftar di Instagram. Cukup menarik. Aplikasi foto yang dahulunya dirancang untuk pengguna iOS, kemudian mencari pasar pengguna Android. Ya, di smartphone Android-lah saya menggunakan Instagram. Tentunya, harus edit dan convert foto dari kamera lalu ke smartphone yang bersistem operasi user-friendly itu. Dari nol sampai pro, saya istiqomah menggunakan aplikasi cetar itu. Sampai sekarang.
Tapi sekarang, hm, beberapa hari ini ada yang berbeda. Mulai dari memberatkan memori pengguna. Mungkin, si pengguna harus upgrade OS dan smartphone supaya fitur-fitur aplikasi ini mendukung. Lalu, konten-konten dalam fitur pencarian benar-benar disrupt, mulai dari foto dengan konten positif sampai ke yang provokatif. Foto dan konten yang provokatif ini membuat saya gerah, dan merasa Instagram udah ga asik lagi, yang dulunya fokus untuk fotografer sekarang malah untuk yang abal-abal. Yah, sedih sih. You know lah, mas dan mbak pembaca bisa cek konten di fitur pencarian dalam akun masing-masing.
Beruntungnya, beberapa wadah untuk fotografer tetap eksis loh! Bisa dibilang, bersih dari konten provokatif yang bersifat opini parsial. Sebut saja:
dan masih banyak lagi! Atau, wadah yang sangat-sangat profesional seperti:
Sampai sekarang, saya terus berusaha mengurangi intensitas membuka Instagram. Bukan karena ingin merugikan pihak aplikasi itu, bukan. Tapi untuk meningkatkan fokus latihan dan berkarya. Bisa saja konsentrasi kreator, termasuk mbak dan mas pembaca, buyar karena membuka hal-hal lain. Misal, seharusnya karya sudah launched, malah postponed karena multitasks ini dan itu.
Kalau disimpulkan, semua media sosial, apapun itu, ternyata tergantung pengguna. Apakah mau mengendalikan, atau dikendalikan. Kalau mau ekstrim, report saja konten-konten yang membuat gerah atau menggelitik daya kritis pengguna. Asal objektif ya, hihi. Sebagai penutup, saya akan lanjut belajar nge-blog seperti waktu SMP lagi. Mengingat nge-blog juga melatih daya konsentrasi dan mengasah kemampuan menulis esai on the spot.
Tetap semangat!
Saya masih pakai instagram, buat nyampah foto di sana hehehehe
Belajar juga bikin foto bagus, tapi belum bisa-bisa huhuhu
Saya pakai instagram juga mbak, buat belajar bikin portofolio. Pelan-pelan mbak belajarnya hehe. Lebih bagus, sering-sering lihat akun fotografer mbak, supaya referensinya banyak