Dari Juanda, Menuju Persidangan
Langkahku memburu, nafas kesusu. Jalan tergopoh-gopoh dengan posisi punggung agak ke depan karena lelah menahan beban ransel. Sambil menggenggam ponsel pintar, saya lemparkan pandangan untuk melihat plat nomor ojek online (ojol) pesanan. Inilah kisah pak ojek hari ini menuju pengadilan.
Plat nomor ojol pesanan tak tampak juga. Langkah kaki jadi ngalor-ngidul saat mencari-cari plat nomor motor beliau.
Eh tahu-tahunya, beliau melambaikan tangan sambil meneriakkan nama saya dari jauh. Beliau berhelm hitam dengan jaket hijau khas ojol.
Saya hampiri motor yang ditunggu hampir 5 menit lebih. Dan kembali terburu-buru, bahkan untuk duduk saja sampai sedikit mengganggu keseimbangan pak ojol.
“Ke Pengadilan Negeri Jakpus ya bu?”
“Iya pak,” jawabku setengah teriak, karena suara terberai angin kencang.
“Yang di Gajahmada kan mbak?” Tanyanya beberapa menit kemudian. “Iya betul pak.”
“Sekarang udah pindah kan pak?”
“Iya mbak, dulu jauh banget tempatnya.”
Saya pun mengiya-iyakan saja apa yang beliau katakan.
“Ada acara apa mbak di pengadilan?”
“Ngeliput pak, buat difoto.”
“Oh pantesan, saya udah tebak emang si mbaknya wartawan.”
Saya tertawa kecil dari balik helm. Dengan penampilan berkemeja kotak-kotak, celana jins panjang, berkerudung sekadarnya, menggendong ransel dan tas kamera.
Itu semua mungkin saja cukup menggambarkan imaji wartawan di kepala beliau.
“Kabar sehat-sehat ya mbak?” Tanya beliau tiba-tiba.
“Alhamdulillah pak, sehat,” jawabku pura-pura bersemangat. Mungkin saja itu basa-basi, atau memang ingin saling menyemangati bekerja dalam tekanan keras saja?
“Alhamdulillah mbak kalo gitu. Keluarga sehat mbak?”
“Sehat semua pak, alhamdulillah.”
“Iya mbak, semoga semuanya sehat-sehat ya.”
“Bapak juga. Semoga rezekinya lancar. Kerjanya semangat. Diberkahi Allah, pak.”
Di lampu merah, motor menepi untuk menunggu lampu kembali hijau. Saya manfaatkan untuk memulas lipstik matte cair. Seolah-olah khatam berlipstik, bagian belakang helm pak ojol dijadikan cermin untuk memastikan garis pulasan tepat sempurna.
Matahari saat itu cukup terik, meski masih jam setengah 10 pagi. Dengan terburu-buru lagi (sepertinya selalu diburu waktu), saya pulas bibir dengan yakin.
Baca juga: Kisah Pak Ojek Hari Ini 2
Karena pengadilan bukanlah tempat familiar, terpaksalah saya kenakan lipstik warna nude agar tak mengundang perhatian.
Biasanya, saya kenakan warna agak coklat untuk menimpa dan mencampur warna nude, agar terlihat segar dan bold.
Motor pun kembali laju. Kini, saya buka aplikasi peta online untuk memastikan arah. Tersesat justru makin menambah masalah. Lagi-lagi karena “terpaksa” menyesuaikan diri dan siap ke tempat yang benar-benar baru.
Kedua mata tak henti-hentinya mencari gedung pengadilan. Setidaknya bisa menangkap tulisan “Pengadilan Negeri Jakarta Pusat” dari sisi kanan atau kiri jalan. Nyatanya, nihil.
Beberapa menit kemudian, laju motor pun mendadak perlahan. Pak ojol menyadarkan lamunan.
“Sudah sampai mbak. Pengadilan kan?”
Oh ini pengadilannya. Besar juga ya. Berarti betul yang ada di berita, pengadilan terbesar se-Asia Tenggara.
“Betul pak,” jawabku sambil menaikkan kaitan tas tepat di punggung.
Kami pun berpisah dan saling tersenyum. Senyum beliau adalah doa. Semoga hari ini lancar dan aman.
—
Di Pengadilan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di berbagai berita, pengadilan ini dipakai untuk proses sidang tindak pidana korupsi. Kadang, disebut juga Pengadilan Tipikor.
Sidang hari itu dihadiri eks anggota Komisi 1 DPR RI, Fayakhun Andriadi, dengan perkara suap mengenai proyek pengadaan satellite monitoring and drone di anggaran Bakamla (Badan Keamanan Laut RI).
Suap tersebut ditujukan agar terdakwa mengupayakan alokasi penambahan anggaran tersebut dalam APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan) tahun 2016.
Ada lagi, mantan Menteri ESDM RI, Jero Wacik, hadir pada siding permohonan PK (Peninjauan Kembali). Beliau telah divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi.
Beliau terbukti menggunakan DOM (dana operasional menteri) untuk kepentingan pribadi saat menjabat Menbudpar (2004-2011) dan Menteri ESDM (2011-2014).
Beliau mengajukan sidang banding dengan permohonan PK agar MA (Mahkamah Agung) membebaskan dirinya dari jeratan hukum pidana yang sedang dijalani.
Saat masuk ke ruang sidang, tatapan beliau mengarah tajam ke saya ketika mengikuti rekan reporter dan fotojurnalis. Agar terlihat ramah, saya ikut pula bersalaman.
Rasanya paham sekali, bersalaman tanpa bersentuhan tidak begitu familiar. Hanya di orang tertentu yang mungkin sanggup dan teguh melakukannya. Di sinilah citra diri dipertaruhkan.
Kabarnya, seseorang bisa dilihat dari cara bersalaman dengan orang baru, khususnya orang penting. Dalam hati saya berdoa, “Tuhan, maafkanlah hingga mungkin akan bertemu dengan ribuan orang baru di dunia ini.”
Beliau senyum sumringah. Tampak santai, bahkan sempat mengobrol dengan rekan kuasa hukumnya. Saya potret momen itu. Ternyata, pengadilan tidaklah sekaku itu.
Inilah kisah pak ojek hari ini.
tukang ojeknya kok nggak difoto? tukang ojek juga pengin ngetop lho
menikmati benar kisah ini 🙂 ditulis dengan humanis dan personal . Suka sekali dengan blog2 sejenis punya Nadia ini.
semoga selalu produktif ya
Nadia wartawan? Huh.. ikut berdegub hahaha… Aku udah pusing duluan bayangin pengadilan wkwkwkw.. Keren keren 😉