Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Baju yang digantung di acara garage sale, Kampung Kemang, Jakarta (11/1/2020). Foto: Nadia K. Putri/nadiakhadijah.com

Limbah Pakaian Bekas, Numpuk selama Pandemi?

BTS
cerita
foto

Baju numpuk di lemari, rasanya sumpek! Apalagi selama pandemi COVID-19, jarang keluar rumah. Kebayang nggak sih gimana limbah pakaian bekas di luar sana?

Mencari pakaian preloved sekarang simpel, cukup buka aplikasi online marketplace. Langsung ketemu. Rasanya juga nggak kalah seru kok dengan hunting di acara garage sale atau mampir di thrift shop.

Pakaian numpuk, dibuang atau dijual?

Baju yang digantung di acara garage sale, Kampung Kemang, Jakarta (11/1/2020). Foto: Nadia K. Putri/nadiakhadijah.com
Baju yang digantung di acara garage sale, Kampung Kemang, Jakarta (11/1/2020). Foto: Nadia K. Putri/nadiakhadijah.com

Kadang, saya bertemu garage sale sesekali. Bahkan pernah ikut jualan pas kuliah. Agak nggak tega jual baju atau celana dengan harga di bawah pasaran.

Kini, saya jadi penjual barang preloved. Khususnya buku. Untuk pakaian, mungkin masih belum. Terkadang terlintas di pikiran. Tumpukan baju nggak laku-laku, dibuang ke TPA nggak ya?

Saya pun penasaran. Ada satu artikel terjemahan tentang pakaian usang setelah dibuang. Publikasinya dari BBC Indonesia. Pakaian ini berasal dari negara-negara Barat maju, misalnya Inggris dan Amerika Serikat. Lalu, pakaian ini terkumpul di satu daerah “khusus”, yakni Panipat, India Utara.

Ternyata, ada pengusaha setempat yang mengolah limbah pakaian bekas jadi barang lebih bernilai. Apa yang saya temukan?

1. Pisah dengan dua kategori

Agar pakaian yang dibuang masih bernilai tinggi, dibuatlah dua kategori: dihancurkan dan bisa dipakai. Pakaian-pakaian ini dilepas ritsleting, kancing, dan labelnya, lalu dihancurkan. Setelah itu, dikategorikan lagi sesuai warna agar bisa dihancurkan lagi menjadi benang.

2. Olah jadi benang

Setelah dikelompokkan sesuai warna, seluruh pakaian dari berbagai bahan dicampur jadi satu ke sebuah mesin besar. Ada katun, wol, sutra, dan serat “plastik” seperti poliester. Hasilnya, sekitar 1,5 ton benang siap tenun.

3. Tenun menjadi kain kasar

Setelah dipintal dan ditenun, benang ini menghasilkan kain-kain kasar. Dan tadaa, dijadikan selimut, khususnya untuk daerah-daerah bencana.

Selain selimut, kain dijual lagi dengan harga murah. Lalu didistribusikan ke daerah yang menggunakan kain daur ulang, salah satunya Afrika.

Apakah berhenti di situ aja?

Belum. Tulisan saya sebelumnya sempat membahas bahan kain yang mudah didaur ulang dan yang tidak.

Baca juga: Acara Garage Sale, Apa Jejak Tersembunyinya?

Apalagi, saya cukup sering bertemu pakaian dengan bahan non-daur ulang. Seperti rayon, poliester, nilon, atau spandeks/lycra. Bahkan di lemari pakaian sendiri.

Mendaur ulang limbah pakaian bekas skala besar seperti di India tetap butuh energi. Mikroplastik bisa aja nyungsep di antara derasnya limbah. Saya pun ketemu artikel yang menceritakan sudut berbeda.

4. Donasi pakaian, tapi…

Limbah pakaian bekas nggak ada habisnya, selama industri fast fashion tetap ada. Pakaian keluaran ritel fast fashion keren-keren sih. Tapi kok bisa ya hanya bertahan sekali-dua kali pakai?

Saya pun bertemu artikel yang menceritakan inisiator daur ulang barang fesyen, yakni Setali Daur. Semangatnya sustainable fashion, yakni gerakan menjaga lingkungan dari bahaya limbah pakaian bekas fesyen. Caranya dengan berdonasi. Tapi nggak asal donasi aja.

Donasi pakaian memang udah biasa, tapi kudu cek-ricekdulu kualitasnya. Apa iya mau donasi pakaian robek dan luntur warna? Donasikanlah yang masih layak dan berkualitas baik.

5. Kreasikan pakaian

Yang saya tangkap dari bacaan tersebut adalah, limbah pakaian bekas ini bisa dikreasikan kembali. Cara yang dilakukan Setali Daur yakni edit value dan reconstruct.

Gimana edit value? Caranya, gabung beberapa pakaian untuk menghasilkan pakaian baru. Misalnya kamu punya rok bawahan, jahit aja bersama sweater. Jadilah semacam dress. Sedangkan reconstruct, pakaian diolah bentuk baru. Misalnya celana jins bekas dipotong, lalu diubah jadi totebag atau pot gantung.

6. Perbaiki, jahit!

Ini yang sering dilakukan ibu saya, jahit ulang pakaian. Itu pun kalau kepepet dan kerusakannya kecil. Tapi kalau bolong, baru deh serahkan ke penjahit. Cara ini disebut repair. Usia pakaian jadi lebih panjang kan?

7. Nggak butuh-butuh amat, hemat aja

Saya akui aplikasi belanja online sekarang lagi jor-joran promo. Barang fashionable melimpah, asal tetap update tren.

Hm, pusing nggak sih ikuti tren fesyen terus? Apalagi kebanyakan bersifat fast fashion dan nggak bertahan lama. Nasihat orang tua soal berhemat ternyata tetap berlaku. “Kalau nggak butuh-butuh amat, nggak usah beli. Hemat!”

Hasilnya? Nafsu beli barang baru berkurang (reduce). Lumayan kan bisa dipakai yang lain? Ada promo gimana tuh say?

8. Wariskan, asal masih muat dan bagus

Punya teman atau saudara yang pakaiannya hasil warisan orang tua dan tetap eye-catchy? Nah, mungkin ukurannya sama atau pakaiannya gampang dipadukan. Ini bisa jadi alasan untuk kurangi ketagihan fast fashion.

9. Beli di preloved atau thrift shop

Kerudung di acara garage sale, Kampung Kemang, Jakarta (11/1/2020). Foto: Nadia K. Putri/nadiakhadijah.com
Kerudung di acara garage sale, Kampung Kemang, Jakarta (11/1/2020). Foto: Nadia K. Putri/nadiakhadijah.com

Biar nggak nyesal, pastikan dulu siapa penjual pakaian preloved-nya. Supaya kamu bisa lihat gambaran pemakaian sebelumnya, masih rapi atau asal-asalan lalu dijual. Begitu pula saat di thrift shop. Cek kualitas pakaian dan ulasannya ya!

Pecinta barang preloved? Me too! Pernah alami 4 hal ini nggak, baca juga: Dari Garage Sale, Ini 4 Hal yang Bisa Ditemukan

10. Daur ulang

Tahap ini bersifat upcycle dan downcycle. Dengan upcycle, usia pakaian bisa diperpanjang. Caranya dengan jahit kembali, wariskan, atau kreasikan pakaian. Sedangkan downcycle, pakaian dihancurkan untuk menghasilkan benang baru. Sayangnya, kualitas bakal lebih rendah dibanding aslinya.

Kamu merasakan yang sama nggak? Banyak promo dan sale pakaian selama pandemi, nggak nahan kan? Sama!

Selama pandemi, pakaian pada numpuk, enaknya diapain ya? Yuk bagi pengalaman dan cerita kamu di kolom komentar yaa!

6 Comments on “Limbah Pakaian Bekas, Numpuk selama Pandemi?”

    • Betul betul, tapi perhatiin juga kualitasnya sebelum didonasikan yah kak Rezky. Biar tetep layak pake 🙂

  1. Iya juga berasa banget pas pandemi ini banyak banget baju nggak kepake dan ternyata yang kepake malah daster daster itu aja yang nyaman dirumah.

    Ternyata dulu beli baju karena baju itu lucu dan mikir “mau pake kesini, mau pake kesitu”.

    Paling sering sih jualan preloved, dan memang agak sedih dijual dibawah harga pasar. Tapi kalo lemari udah rapi dan seger, rasanya legaaa banget.

    • Sama mbak, dulu mikir, beli baju biar dipake kemana-mana. Eh taunya pandemi ya mbak Laili. Pas wfh kaosan aja

  2. Kalo nurutin marketplace, abis duit buat jajan baju doang wkwkwkw.. Alhamdulilah.. berhubung saya orang rumahan nih mbak, jadinya yang sering ganti ya baju kebesaran aja a.k.a Daster wkwkwkw.. Semoga kita bukan tipe orang yang konsumtif ya mbak.. Untuk barang preloved belum pernah nyobain beli, dan aku langsung kepikiran buat nyari di shop** nyoba wkwkw.. katanya gak suka jajan, pie to 😀

    • Iya ya mbak, marketplace ga ada habisnya, apalagi syopi. Hihi jajan preloved pun masih mikir mbak Nuel XD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *