Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Membangun Desa (1)

“La, lu bakal balik ke kampung ini lagi nggak?” tanyamu.
“Ga tau Bang. Gue ga jamin,” jawab gue ketus.

***
Kampung gue terletak di lokasi antah berantah. Kampung ini terkenal dengan jalan kecil yang sering dilewati oleh motor berkecepatan tinggi. Anehnya, anak-anak sekitar kampung sering banget main di jalanan ini. Padahal berbahaya sekali.
Bang Go prihatin mengamati lingkungan di sekitar rumahnya, karena dekat dengan jalan tersebut. Setiap pagi sebelum bekerja sebagai kuli ojek, Bang Go harus tengok kanan-tengok kiri untuk memastikan motor dan dirinya tidak terserempet. Bila terserempet, rezeki di pagi hari terburu diambil ayam berkokok dari tetangga sebelah, alias, menunggu hari esok untuk bekerja lagi.
Rupanya, geliat Bang Go sering tertangkap oleh La O. La O adalah gadis kecil yang tinggal bersama Bang Go, tepatnya adik kandung beda ibu. La O berumur 11 tahun, ia termasuk gadis yang rutin mengikuti tren masa kini melalui gawai pintar berbentuk kotak tipis seukuran penghapus papan tulis di sekolahnya. Maksudnya, gawai pintar La O tidak setebal itu. Akhirnya, La O mengusulkan demikian.
“Bang, gimana kalo lu kasih lampu merah depan pager rumah?” ujar La O sambil mengacungkan tangan dengan raut wajah seolah-olah berkata Eureka.
“Iya, bisa sih,” jawab Bang Go malas. “Tapi ntar kita dikira orang gila.”
“Kalo gitu, kasih sirene aja bang! Jadi lu kasih lampu merah plus sirene. Masa abang mau keserempet lagi? Kapan ngojeknya?”
“Iya, gimana ya. Ntar gua pikir lagi yak.”
La O meninggalkan Bang Go, kemudian berjalan menuju pagar rumah untuk pergi ke sekolah.
***

Di sekolah, La O bukanlah anak yang pandai nan cemerlang. Tetapi, menurut kesan teman-teman sebayanya, La O terlalu unik.
“Eh La! Masih ga mau main Mobile Legend lagi lu? Gua udah bikin istana nih!” ujar Koy.
“Halah, istana doang. Invasi sekalian dong yang bener,” ujar La dengan nada remeh.
“Mimpi itu mah.”
“Nggak lah. Lu jadi pemimpin beneran aja di dunia nyata. Ntar juga lu bakal nginvasi juga.”
Koy kaget dengan jawaban La yang santai. Jadi pemimpin? Beneran? Di dunia nyata? Terus apa hubungannya dengan Mobile Legend?
“Ah lu selalu aja ngayal.”
“Lah elu, daripada main, mending sini bantuin gua.”
Beruntung Koy adalah sahabat La O sejak pertama masuk sekolah dasar kelas satu.
“Abang lu kenapa lagi La? Masih ngojek kan?” kata Koy dengan memasang sepasang telinga yang bergerak-gerak antusias.
“Si Go khawatir mulu kalo mau keluar pager rumah. Takut keserempet. Lu tau kan rumah gue kaga ada garasinya. Langsung ngadep jalan.” La O mendekatkan posisi duduknya.
“Iya sih. Terus, rencana lu apa?”
“Tadinya gua pengen bikin lampu merah sama sirene, Koy. Tapi dibilang orang gila ntar.”

Koy pun hening sambil memutar otak menemukan cara. Sampai beberapa tahun kemudian. 

***

Koy dan La O tetap bersahabat, bedanya, mereka sudah menjalani hidupnya masing-masing. Koy kebetulan diterima di sebuah universitas di pinggiran ibu kota. Sementara La O, tetap di kampung menjaga tempat penitipan dan parkir motor.
Suatu hari, La O mengirim pesan singkat pada Koy.
“Koy, tahun depan gua bakal masuk kuliah. Gua udah ikut les-les nih sesuai saran lu. Tapi gua bingung, bakal jamin kerja dan untung banyak kayak gua sekarang gak?”
Dua menit kemudian.
“Koy, gua les nih, bosen banget. Ga ada apa yang berfaedah dikit?”
Lima puluh detik kemudian, Koy membalas pesan La O.
“La, daripada lu bingung sama masa depan lu. Lu mending bantuin abang lu. Abang lu udah sehat kakinya?”
Percakapan seru pun dimulai.
“Abang gua terancam ga bisa ngojek lagi nih. Tapi, gua juga ga bisa ninggalin parkiran. Amanah gua gede ngejagain motor orang, Koy. Ancur ntar reputasi penitipan motor gua.”
“Iya La, gua ngerti. Coba dari dulu lu bikin itu sirene dan lampu merah. Pasti abang lu ga bakal jatuh dan nyungsep masuk ke dalem got depan rumah lu. Gua kesel La, yang nabrak malah kabur ga jelas. Bukannya tanggung jawab, elah.”
La O berpikir ulang. Sirene? Lampu merah?
“Emang gua pernah ngusulin itu?”
“YA IYALAH HELOW. Lo tuh yang nyuruh gua dengerin curhatan lu. Itu sirene sama lampu merah, jalan ga jadinya?”
“Nggak…”
“Eh tapi kan lu bisa gambar La. Ntar kapan-kapan gua balik kampung deh!”
La hanya membaca pesan tersebut dari balik gawai pintarnya.
“Mas-mas, mau keluar. Tolong dong,” seru seorang perempuan pekerja kantoran yang sudah siap dan mengenakan helm.
“Maaf mbak, saya perempuan,” ujar La O sambil tersenyum. “Kebetulan rambut saya lagi dicepak aja.”
La O mengeluarkan motor seorang perempuan tersebut dengan penuh tenaga. Hampir 2 tahun bekerja sebagai penjaga tempat jasa penitipan motor, ia sudah menganggap motor tersebut ringan seperti mengangkat jemuran. Selain ahli dan amanah dalam bekerja di bidang jasa penitipan motor, La O juga memiliki potensi terpendam, yaitu menggambar. Melalui Bang Go dan Koy, La O ternyata mendapat pengaruh besar dari mereka dalam pengalaman mengasah kemampuan menggambar.
Gue rasa, bukan hanya menggambar gunung dan sawah saja, namun menggambar di aplikasi desain ternama—yang dikenal desainer seantero dunia—meskipun La O masih berjuang megumpulkan uang untuk mendapatkan versi asli aplikasi tersebut. Selama bekerja, La O selalu terpikir, kalau bekerja begini terus, kapan kemampuan menggambarnya semakin terasah? Sementara, pekerjaan menggambar ini semakin hits di kalangan milenial seumurannya. La O ingin naik tingkat, tepatnya naik status.
Beberapa minggu sebelum Koy pulang ke kampung, La O sudah meminta pengunduran diri secara resmi dari Bos Gabe. Bos Gabe adalah pemilik tempat penitipan motor di kampungnya. Pengunduran diri La O tidak hanya sekali dua kali saja, ia sempat mengalami halangan berupa diberi gaji yang lebih tinggi dari biasanya, durasi kerja yang lebih cepat, atau bahkan hanya menjadi kasir. Semua La O tolak demi menjaga harga dirinya.
Gue pernah ngobrol langsung dengan La O, bahwa ia hampir mendapatkan tekanan ringan dan berat. Mulai dari diberikan hadiah, diajak jalan-jalan, menginap di rumah bos, bahkan hampir dijadikan pembantu. La O selain unik, tetapi juga kritis sampai Bos Gabe nyaris sakit jantung. La O tak pernah menerima begitu saja dan selalu dianggap berprasangka buruk pada bos.
Ya seperti, “Bapak mau menjadikan saya sebagai istri kedua bapak?”.
“Bapak, tentu punya anak perempuan seperti halnya saya. Tolong beri saya kesempatan untuk berkembang”, dan sebagainya.
Maka, di minggu ketiga di bulan April tahun naga, La O resmi mengundurkan diri demi mengasah kemampuan menggambarnya. Di saat yang sama, Koy pulang ke kampung halaman untuk membantu La O yang ingin mewujudkan harapan Bang Go. 

(Bersambung)

2 Comments on “Membangun Desa (1)”

  1. Akankah lampu merah dan sirine nya terwujud?
    Bagaimanakah reaksi bang Go melihat kepulangan Lao dan Koy?

    Sesaat lagi pemirsa, jangan kemana-mana!

    *Too much watching quiz wkwkwk*

    Nice story!
    Ngakak dikit pas part Mobile Legends
    X))))

    #AulSeleraHumornyaReceh
    #GituanDoangKetawa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *