“Nggak ada hantu di Lawang Sewu, mbak” kata Mas Aris, pemandu wisata asli Semarang berkata pada kami. Percaya nggak percaya sih. Ini trip saya dan enam teman lainnya ke Lawang Sewu, Semarang, pada Januari 2020.
Setelah antre beli tiket, kami mencari toilet. Tadinya saya ingin buang air kecil (BAK), tapi kok lihat tampilan toiletnya yang kuno dan lampunya remang-remang, jadi…. Oke deh, tahan saja.
“Pokoknya harus banyak gerak dan lasak ya, biar nggak kencing di toilet ini,” gumam saya.
1. Toilet di Lawang Sewu
Toilet yang ada di Lawang Sewu jadi concern lantaran saya penakut wkwk. Di dalamnya terdapat enam wastafel ukuran besar yang didatangkan langsung dari Belanda.
Ketika masuk ke toilet untuk sekedar lihat-lihat, pintunya tampak unik. Daun pintu terbuat dari kayu. Sementara di dalamnya dilengkapi kloset jongkok dan duduk yang awet.
Sayangnya, lampu toiletnya remang-remang. Buat sebagian orang, mungkin suasananya kurang nyaman kalau sendiri. Jadi, lebih baik bawa teman biar saling jaga depan pintu.
Beres dari toilet, kami dan Mas Aris masuk ke ruangan utama dekat kaca patri.
2. Ruangan utama dekat kaca patri
Ruangan utama didesain ala Eropa dan terlihat kokoh. Ada tangga menuju lantai dua. Kaca patrinya juga khas menurut saya. Karena detailnya baru terlihat ketika ada cahaya dari luar.
Dilihat dari jauh, kaca patrinya seperti lukisan. Nampaknya dominan warna biru dan sedikit hijau. Ada empat bagian lukisan, tapi yang terpotret hanya dua. Di bagian tengah bawah, ada lukisan ibu menggendong anak. Ternyata ada maknanya.
Mengutip dari Good News From Indonesia, ada dua dewi, Dewi Fortuna dan Dewi Venus. Kedua dewi ini mewakili dewi kecantikan dan cinta kasih. Lukisan di kaca patrinya menggambarkan keberkahan dan keberuntungan Belanda selama di Nusantara, terutama bisnis kereta api di Pulau Jawa.
3. Sumur tua Lawang Sewu
Hampir lupa! Sebelum masuk toilet, Mas Aris mengajak kami dulu ke sumur tua dekat pintu gerbang. Sumur ini digunakan untuk cadangan air di kompleks Lawang Sewu.
Air sumurnya berasal dari air tawar karena digali hingga ratusan meter. Bisa berbeda begini ya airnya? Padahal, Semarang dekat laut kan?
Konon, airnya dipercaya dapat mengobati sesuatu. Teman saya sempat membilas air ke wajahnya. Katanya, cukup sejuk. Mau coba?
4. Lantai dua, lokasi 1000 pintu Lawang Sewu
Mas Aris cerita kalau jumlah pintu di Lawang Sewu tidak benar-benar seribu. Saya ingat-ingat, kalau tidak salah sekitar 300-an. Saya cari lagi di situs lain dan menyebutkan ada sekitar 940-an pintu. Hmm, yang jelas jumlah pintunya banyak ya.
Di lantai dua ini Mas Aris menawarkan diri untuk memotret kami yang full team. Setelahnya, teman-teman saya foto-foto. Sementara saya memotret pemandangan sekitar. Jarang-jarang loh Lawang Sewu masih ramai sore itu.
5. Turun ke lantai satu, ke area museum kereta api
Mas Aris cerita, Lawang Sewu pernah menjadi lokasi syuting, rumah sakit, hotel, tempat hunting hantu, barak tentara, dan kantor dari perusahaan kereta api (KA) milik Belanda.
Begitu masuk, benar adanya kalau ruangan yang kami kunjungi itu pernah menjadi kantor perusahaan KA. Sekarang, menjadi museum KA. Mulai dari maket, galeri foto, sampai gerbong dan lokomotif di belakang gedung.
Dari museum ini, saya jadi ngeh kalau Stasiun Manggarai dan Jakarta Kota pernah menjadi terminal di zamannya. Ada stasiun-stasiun kecil juga yang terekam di galeri foto. Waduh, saya lupa nih motret galerinya.
6. Loteng
Hampir magrib, Mas Aris nekat mengajak kami ke loteng. Waktu itu, kami sudah keliling gedung area atas dan belakang. Suasananya jadi tambah creepy walau awalnya sempat sebut “nggak ada hantunya loh mbak”. Hmm, sugesti saja ini sepertinya.
Area loteng, jelas Mas Aris, merupakan tempat pengintai musuh dan “kulkas” bahan pangan. Jendela-jendela di tiap sisi loteng berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara gedung tetap baik. Walau begitu, area loteng menjadi sarang burung walet.
Tangga spiral menuju loteng cukup curam dan besinya sudah tua. Kami pun pelan-pelan menaikinya. Takut-takut roboh.
Mas Aris sempat menunjukkan batas garis lapangan bulu tangkis. Katanya, sudah tidak dipakai lagi. Waktu itu, tentara-tentara tinggal di barak yang ingin mengisi waktu memakai lapangan tersebut.
Di loteng ini kami juga banyak berfoto-foto karena semua view terlihat lebih luas.
7. Pohon mangga tua
Beberapa menit menjelang azan magrib, waktunya Mas Aris mengajak kami turun ke tempat berkumpul pertama, yakni dekat pohon mangga tua.
Kami duduk-duduk di paving block sambil ngemil dan istirahat. Dua teman saya menawarkan jajanan yang kami bawa ke Mas Aris, biar akrab hehe. Lalu, kucing-kucing tiba-tiba datang mendekati kami. Mungkin mau join.
Suasana cair, barulah Mas Aris cerita lagi. Jadi pohon mangga ini ternyata pernah menjadi tempat menaruh sesajen dari dukun-dukun pesugihan dan orang belajar “ilmu”. Ada juga orang yang pernah semedi bawah pohon, tapi sekarang sudah dilarang.
Mas Aris juga nostalgia waktu awal-awal jadi pemandu. Beliau belajar dari salah satu juru kunci di sana. Mulanya, beliau ketemu noni Belanda cantik yang kakinya tidak napak di lorong depan. Saya kaget sambil kunyah keripik mecin dan mengamati lorong.
Selama jelajah, merasakan apa saja di Lawang Sewu?
Rasanya campur aduk! Antara takut tapi penasaran. Berkat bantuan Mas Aris, wawasan saya terhadap Lawang Sewu lebih bertambah. Lima teman saya juga senang karena jalan-jalan lebih interaktif dan asyik.
Satu hal yang memorable, ucapan “nggak ada hantu di Lawang Sewu” tetap saya ingat sampai sekarang. Semua tergantung sugesti kan?
Sumber pendukung dari:
- Koper Mini (2019). https://kopermini.com/menjelajah-lawang-sewu-yang-misterius/
- Travel Kompas.com (2020) https://travel.kompas.com/read/2020/06/10/170700027/apakah-benar-lawang-sewu-punya-1.000-pintu-?page=all
- Good News From Indonesia (2019). https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/09/25/makna-lukisan-kaca-patri-di-lawang-sewu
cantik banget ya waktu menjelang gelap, ah belum pernah main ke semarang semoga kapan2 bisa mampir
Iya mbak Ninda, kebetulan lagi bagus suasananya. Semoga kesampaian mampir Semarang ya mbak
Everyone loves it when people come together and share thoughts. Ingaberg Cyrus Bernt
Wow, this paragraph is fastidious, my younger sister is analyzing these kinds of things, so I am going to tell her.
Wow, selama berada di Lawang Sewu waktu itu aku belum pernah mampir ke toiletnya. Hahaha ga bakalan berani deh kalau tau cerita seremnya wkwkwkwk 🙂 Aku seneng pas ke sana dpt pemandu yang oke banget plus bantuin cekrek2 dengan spot yg keren2.
Bener mbak, nggak berani wkwk. Pemandunya juga baik banget mbak Nurul, hasil cekreknya juga bagus bagus
It’s difficult to find educated people on this topic, however, you sound like you know what
you’re talking about! Thanks
Pingback: Naik Kereta ke Ngawi - Nadia K. Putri