Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Potret pedagang kaki lima di bawah Jembatan Penyeberangan Multiguna, Stasiun Tanah Abang, Jakarta (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri

Pengalaman Tes Rapid, Perlu Tes Lagi Nggak?

BTS
life

Orang bilang, kalau mengalami sendiri, baru percaya. Dari awal, cerita pengalaman tes rapid dan tes swab itu nyata. Ini pengalaman tes rapid COVID-19 saya.

Berawal dari diterima

Akhir Agustus lalu, saya dapat kejutan. Saya diterima di salah satu agensi periklanan digital. Beruntung, setelah berjuang apply kerjaan selama beberapa bulan, akhirnya kembali ngantor.

Namun, apakah benar-benar aman bekerja dari rumah? Bagaimana kalau tiba-tiba ke kantor? Apalagi tempat tinggal saya masuk zona merah membara.

Saya dapat brief: bisa bekerja dari rumah. Namun nggak menutup kemungkinan akan ke kantor untuk pertemuan tertentu. Salah satunya di hari pertama, masuk kantor untuk tanda tangan kontrak dan bertemu user. Wajar kan?

Naik transportasi umum? Kalau sudah bisa nyetir nggak bakal deh kayak gini

Siluet peron jalur 4 di Stasiun Bekasi, Jawa Barat (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri
Siluet peron jalur 4 di Stasiun Bekasi, Jawa Barat (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri

Dilema deh. Lantaran baru masuk saja, saya terpaksa ketemu penumpang. Anggap saja mereka orang tanpa gejala (OTG) yang bertebaran di gerbong dan stasiun. Apalagi Stasiun Bekasi, Stasiun Manggarai, dan Stasiun Tanah Abang, nggak pernah putus penumpangnya.

Walau sudah jaga jarak di gerbong, siapa tahu kan ada OTG atau positif? Di hari pertama kantor, masih fit. Selang 2 hari, kerja di rumah. Hari berikutnya, masuk kantor. Di saat itulah tenggorokan terasa seret dan agak masuk angin.

Ini AC gerbong dan kantornya nya yang nggak enak atau badan saya yang meriang habis lemburan? Hmm. Saya ingat-ingat lagi, mungkin kurang minum waktu di gerbong. Ups, kan nggak boleh buka masker di gerbong?

Saya sempat berandai-andai, “coba deh agak cepat lancar nyetir mobilnya. Nggak bakalan deh naik KRL.”

Ikut jadwal tes rapid COVID-19

Ruangan kantor cukup luas dan sudah berlaku jaga jaraknya. Satu meja panjang sepanjang 1 meter lebih, untuk satu orang.

Hari kedua, dijadwalkan tes rapid COVID-19. Beberapa orang yang masuk hari itu sudah dapat giliran tes. Wah, jadi pengalaman tes rapid pertama kali nih.

Bagaimana prosedur tes rapid COVID-19?

Mula-mula, dokter menyuntikkan jarum ke jari saya. Setelah darah keluar, jari saya digoyang perlahan agar darahnya muncul ke permukaan. Setelah itu, darah disedot dengan pipet kaca dan dituang ke alat tes rapid COVID-19.

Kalau nggak salah, ada cairan khusus yang dicampur ke tetesan darah di alat tes rapid. Cairan ini yang akan menandai antibodi IgG dan IgM.

Kalau hasilnya positif, tandanya sudah pernah terinfeksi virus COVID-19. Tapi kalau negatif, pemeriksaan tes bisa diulang setelah 7-10 hari isolasi mandiri (ini saya rangkum dari situs Alodokter).

Hasilnya?

Surprise!

Reaktif.

Padahal baru beberapa kali keluar rumah untuk ke kantor. Semacam rejeki dan musibah datang bersamaan. Dari 5-7 orang yang tes, tiga orang reaktif, termasuk saya.

Untungnya dokter kantor menenangkan kami. Hasil tes rapid mengandalkan IgG dan IgM. Jadi, tetap perlu dikonfirmasi ulang. Caranya, tes swab (PCR). Bisa saja badan nggak enak, sehingga hasil tes rapid COVID reaktif.

Awalnya sempat panik karena nggak ingin tes swab sendirian. Tapi hei, kalau ikutan tes swab di salah satu RS di Jakarta Barat, bakal repot ambil hasil tesnya. Akhirnya saya pulang dan rasanya… rontok semua badan.

Saya pikir bakal terakhir keluar rumah

Potret pedagang kaki lima di bawah Jembatan Penyeberangan Multiguna, Stasiun Tanah Abang, Jakarta (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri
Potret pedagang kaki lima di bawah Jembatan Penyeberangan Multiguna, Stasiun Tanah Abang, Jakarta (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri

Pengalaman tes rapid COVID-19 ini bikin saya pasang mode mindfulness (sini-kini). Saya akui dan terima emosi dan perasaan saya karena reaktif tes rapid COVID-19. Saya sempat telpon ibu, “jangan panik ya kak”, kata ibu. Dan saya panik sekali!

Di atas ojek online cuma bisa diam sambil motret. Memandangi apa pun yang ada di sekitar. Ya sudah, sekalian penuh-penuhi memori ponsel biar bisa disortir fotonya. Hitung-hitung jadi dokumentasi pengalaman tes rapid COVID-19.

Sampai stasiun, saya puas-puaskan beli matcha latte dan roti daging. Nggak penting sih, tapi ini salah satu cara untuk cek indra pengecap dan penciuman. Siapa tahu ada indikasi terkena COVID-19 kan?

Mungkin karena terlanjur panik dan kesal, sampai-sampai matcha latte tumpah di peron Stasiun Manggarai. Sempat self-blaming gara-gara pengalaman tes rapid COVID-19 ini.

Di RS, langsung tes swab COVID-19, bagaimana rasanya?

Sebelum pulang kantor, saya telpon dan usul langsung tes swab ke salah satu RS di Bekasi. Ibu saya oke saja, tapi ayah perhitungan. Mengingat harga sekali tes swab itu pricey.

Suasana kamar untuk isolasi mandiri, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri
Suasana kamar untuk isolasi mandiri pasca tes rapid, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi (28 Agustus 2020). Foto: Nadia K. Putri

“Tapi ini darurat dan daripada serumah positif, mending tahu hasilnya dari sekarang. Apalagi orang berumur jauh lebih rentan dan potensial.”

Lalu bagaimana hasil tes swab-nya? Lanjut di artikel berikutnya ya!

5 Comments on “Pengalaman Tes Rapid, Perlu Tes Lagi Nggak?”

  1. Kalau meriang begitu bisa aja rapid test nya reaktif, tapi belum tentu covid-19. Setau saya sih rapid test itu mengandalkan antibodi yang diproduksi tubuh karena ada infeksi. Belum tentu infeksi covid-19, bisa jadi infeksi lainnya dan jadinya reaktif.

    • Hmm I see kak Tio. Mungkin aja waktu itu kena penyakit lain kali ya kak.

  2. Pingback: Hasil Tes Swab, Seberapa Penting? - Nadia K. Putri

    • Iya, begitulah tesnya. Sebenarnya kalau dibawa rileks dan ikuti arahan perawat, nggak apa-apa. Serius kak? Berarti belum merata yah 🙁

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *