Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Perempuan dan Ilmu

Perempuan yang berilmu memiliki dua kemungkinan.
Pertama, ia bersyukur bahwa pendidikan adalah nikmat terbesar untuk memahami ciptaan Tuhan beserta dinamikanya.
Kedua, ia malah angkuh dengan ilmu yang dimiliki. Dan, mencari pembenaran-pembenaran semu untuk memuaskan benaknya.

—-

Awalnya, saya tidak sengaja menemukan suatu pos artikel di beranda akun LINE. Artikel ini bercerita tentang komentar dan kritik tajam dari perempuan terhadap orang-orang yang mendiskreditkan perempuan berpendidikan tinggi.

Sepertinya terpotong. Mungkin tampilan di LINE PC terdapat kesalahan sistem.

Orang-orang tersebut menganggap bahwa perempuan berpendidikan tinggi dikhawatirkan akan meninggalkan keluarga (tidak bisa mengurus anak, sering keluar rumah dan bercampur baur). Maka dari itu, orang-orang tersebut menginginkan bahwa perempuan– yang akan menjadi istri atau ibu– “harus” tinggal di rumah, sabar, telaten, “patuh”, dan mau berjuang dari bawah. 
Setelah membaca sekilas artikel tersebut, saya pusing. Kemudian membacanya lagi, apakah ada sesat pikir, atau justifikasi tanpa membaca lebih banyak lagi? Mungkin ada. Setelah saya renungkan, saya sebetulnya agak terganggu dengan tulisan semacam ini. Bukan bermaksud ini dan itu, tetapi, perempuan dan laki-laki pada prinsipnya berhak mendapatkan pendidikan. Entah itu untuk kemajuan negara, mendukung bonus demografi, dan sebagainya. Agak aneh bila masih ada saja orang yang mempermasalahkan tingginya tingkat pendidikan. Karena pendidikan saat ini tidak hanya diakses dari sekolah saja, tapi bisa dari kursus online kredibel seperti MIT Open Course Ware, EdX, Coursera, Udacity, IndonesiaX, dan sebagainya. 
Tapi konteksnya berbeda. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah bentuk kecemburuan sosial dalam menjalani hubungan asmara. Ah, basi sih. Jika pada prinsipnya pendidikan adalah hak segala bangsa, mengapa harus diperdebatkan, bahkan dikait-kaitkan dengan ideologi tertentu? Jika pendidikan membuat seseorang maju, berpikiran terbuka atau berkontribusi pada negeri, kenapa sih  harus ada salah satu yang gengsi? 
Cerita lama semacam ini seharusnya diabaikan saja, daripada diperdebatkan dan akan makin memperumit masalah. Karena, begitu banyak tokoh-tokoh perempuan yang melakukan kontribusi di masyarakat dan dunia. Perempuan ini akan menginspirasi anak-anaknya, ibunya, neneknya, tantenya, bahkan sahabat-sahabatnya. Perempuan ini memberi manfaat besar dan luas. 
Mungkin saya, dia, dan kita kurang membaca. Mungkin, masih ada yang berpikiran sempit dan ingin kekuasaan tertentu.
Salah satu sebab artikel di beranda LINE itulah yang membuat saya gemas. Memang sih, perempuan pada dasarnya akan menjadi ibu dan akan berkolaborasi bersama pasangannya. 
Tetapi, tidak semua pasangan mau diajak berkolaborasi dalam skala besar dan expert kan?
Saya pun teringat oleh kutipan Ibu Michelle Obama di bawah ini. 

Adanya postingan semacam ini di beranda LINE saya ternyata tidak hanya sekali dua kali. Beberapa orang yang membahas masalah ini cukup keras koarnya. Cukup membuat urat leher tegang, karena ada beberapa hal yang harus diarahkan lagi, atau bahasa kasarnya, banyak baca lagi. Namun, karena saya juga melihat betapa banyaknya komentar postingan tersebut, saya mengamati saja.

Kalau diingat-ingat sih, beberapa waktu terakhir ini sedang “panas” isu pendidikan untuk perempuan. Satu hal yang saya ingat adalah, bila sudah mengedukasi perempuan, maka negara akan maju. Dan partisipasi perempuan dalam pendidikan betul-betul dibutuhkan untuk mendidik generasi berikutnya. Seperti biasa, mengingatkan generasi berikutnya tentang suatu hal luar biasa di masa depan. Tentu, para perempuan ini butuh ilmu yang valid, kredibel, dan objektif. Bukan sekedar gosip.

Jika mas dan mbak pembaca menemukan artikel di beranda media sosial, amati saja. Lalu renungkan, sudah sejauh apa sih pengetahuan kita terhadap sesuatu? Apakah itu membuat merasa lebih, atau merasa lain-lain (ya apa gitu)? Mengomentarinya pun sebenarnya nggak bakal menyelesaikan masalah, mengingat ada kata-kata tertentu yang memancing sumbu pendek. 
Kalau perempuan (dan laki-laki) bersyukur pada ilmu yang dimilikinya, mungkin dunia ini jadi bijak, kali ya. 

2 Comments on “Perempuan dan Ilmu”

  1. Ya ampun, orang yang kayak gitu didiemin aja mbak. Kan udah jelas-jelas "sesat". Ga perlu dipermasalahkan. Diisolasi aja, nanti orang-orang seperti itu bakal mikir lagi.

  2. Perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, makin tinggi ilmu makin baik perempuan tersebut menjadi pembimbing. Saya bilang ilmu, bukan pendidikan, karena pendidikan tinggi belum pasti berilmu (bijaksana masuk dalam kategori berilmu ya), ada yang kuliah hanya untuk gelar.

    Namun kadangkala di lapangan ada yang efek samping memang, ada wanita berpendidikan yang kebilnger dan sombong, akhirnya karena merasa mampu, tidak takut merusak hubungan dan ini bukan karena apa, karena ilmunya berarti gak full, dan kita perlu bijak menyikapinya, dari diri sendiri dulu kita harus waspada, tapi ilmu harus jalan terus.

    Hanya numpang pendapat, salam kenal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *