Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Kenal jati diri, artinya berterima kasih juga pada diri. (Photo by Eternal Happiness by Pexels) via https://www.pexels.com

Ajaran Agung Konfusius untuk Milenial

life

This photo of Confucius Temple is courtesy of Tripadvisor

Pasca ujian tengah semester mata kuliah Bahasa Cina Klasik 1. Saya menyadari sesuatu yang sangat “principal”. Teks Ajaran Agung dari Konfusius untuk milenial mungkin bisa mengubah perspektif soal jati diri dan pandangan hidup. Inilah alasannya Ajaran Agung bisa diterapkan di kehidupan kamu.

Awalnya saya tidak begitu suka dengan mata kuliah ini. Terlalu moralis. Terlalu.. yah.. idealis. Tapi ini sikap skeptis saya terhadap teks-teks di buku diktat, ya.

Semua pikiran negatif itu berubah 90 derajat ketika saya menyelami makna mendalam salah satu teks, langsung dari Konfusius, yaitu Ajaran Agung (The Great Learning) atau 大學 (dà xué).  

Teks Ajaran Agung Konfusius atau 大學(dà xué) ini tercatat dalam buku ritual klasik Li Ji “禮記”. Semua pikiran negatif itu berubah 90 derajat ketika saya menyelami makna mendalam salah satu teks, langsung dari Konfusius. Teksnya yaitu Ajaran Agung atau 大學 .

Teks ini dipilih sebagai intisari ajaran Konfusius dalam serial buku Four Books atau “四書” (sishū) oleh Zhu Xi. Terlepas Zhu Xi yang merupakan filsuf aliran neo-konfusianisme, teks ini maknanya dalam. Selain itu, kerap digunakan dan dijadikan referensi bagi calon pemimpin atau calon cendekiawan yang mengikuti ujian negara pada saat itu.      

Berikut cuplikannya.  

Cuplikan teks

(Terjemahan bebas dari teks sumber bahasa Cina klasik)

“Segala sesuatu memiliki akar dan ujung. Segala persoalan memiliki awal dan akhir.
Setelah memahami mana yang didahulukan, maka sudah dekat dengan prinsip ajaran agung.
Orang zaman dahulu yang menginginkan kebajikan yang terang, terlebih dahulu harus mengatur negaranya.
Seseorang yang ingin mengatur negara, terlebih dahulu harus menata keluarganya.
Seseorang yang ingin menata keluarganya, terlebih dahulu harus membina diri sendiri. Seseorang yang ingin membina diri sendiri, terlebih dahulu harus meluruskan kata hatinya.
Seseorang yang ingin meluruskan kata hatinya, terlebih dahulu harus jujur pada keinginannya. Seseorang yang ingin jujur pada keinginannya, terlebih dahulu harus memperluas pengetahuannya.
Apabila ingin memperluas pengetahuan, maka harus meneliti segala sesuatu. Setelah meneliti segala sesuatu, barulah mendapatkan pengetahuan yang luas.
Setelah mendapatkan pengetahuan yang luas barulah jujur pada keinginannya.
Setelah jujur pada keinginannya, barulah meluruskan kata hatinya. Setelah meluruskan kata hatinya, barulah membina diri sendiri.Setelah membina diri sendiri, barulah menata keluarga.Setelah menata keluarga, barulah mengatur negara. Setelah mengatur negara, maka dunia mencapai kedamaian.”

Ajaran Agung  – 大學

Berdasarkan makna yang membuat saya tercerahkan, akhirnya saya membagi poin-poin penting ini ke dalam tema postingan rutin dari Blogger Perempuan tentang “Friendship, Family Parenting, Health, and Love”.  

Biar nggak terasa berat dan serius banget, saya coba urai dengan bahasa kids jaman now aja biar lebih ngena. Saya ambil perspektif dari individu ya.  

a. Ketika kenal jati diri, kamu bisa menguasai diri

Kenal jati diri, artinya berterima kasih juga pada diri. (Photo by Eternal Happiness by Pexels) via https://www.pexels.com
Kenal jati diri, artinya berterima kasih juga pada diri. Itulah manfaat Ajaran Agung Konfusius. (Photo by Eternal Happiness by Pexels) via https://www.pexels.com

Ah iya?  

Jati diri yang dimaksud adalah keadaan diri sendiri dan dikenal oleh diri itu sendiri. Sebenarnya bisa dilihat dari pandangan orang lain, tapi tetap disaring. Nggak semua memberi kesan positif.  

Tetapi, jati diri pun termasuk soal seberapa peka diri terhadap emosi, ego, harapan, bahkan cita-cita. Positif semua. Bahkan dusta, dendam, amarah, dan kelicikan dalam diri pun juga bisa dikenal.  

Ketika sudah mengenal jati diri dan paham betul, udah nggak ada lagi ceritanya “krisis jati diri”. Lalu, gimana cara untuk mengurangi “krisis jati diri”?  

b. Membaca buku, kerennya “self-psychology book

Iniah langkah pertama untuk mengenal jati diri. Buku-buku psikologi diri sangat membantu memberi cermin pada diri, siapa diri, mengapa dilahirkan, dari mana asal-usul, bahkan sampai ke personal trait.  

Setelah membaca buku tentang itu, barulah perluas lagi dengan buku-buku atau artikel yang membahas:

  • Hubungan antar manusia (keluarga, pertemanan, politik, ekonomi, budaya, dsb)
  • Manusia dengan makhluk hidup lain (baik itu tentang pemeliharaan tumbuhan atau hewan, dsb)
  • Manusia dengan Pencipta (kitab suci, tafsir kitab suci, dialog keagamaan, dsb).  

Dengan begini, kamu jadi tahu dengan siapa berhadapan dan bagaimana menghadapinya. Kamu juga bisa banget perluas langkah dengan mengurus hal-hal besar, misalnya…  

c. Berorganisasi, memimpin, dan mengatur orang lain

Beroganisasi dan berinteraksi. Photo by fauxels from Pexels) via https://www.pexels.com
Beroganisasi dan berinteraksi. (Photo by fauxels from Pexels) via https://www.pexels.com

Ini adalah langkah tertinggi dalam pencapaian hidup individu, terlepas dia itu anak SMA, mahasiswa, bahkan blogger sekali pun. Karena langkah ini termasuk mencakup hubungan antar manusia yang disertai dengan bumbu-bumbu. Selain itu, dinamika juga lebih kompleks, entah itu:

  • “Orangnya nyebelin, kesel”
  • “Susah banget sih ngertiin gue, maksud gue kan ini”
  • “Gue mau dia dikeluarin dari peer kita, gimana?”
  • Bahkan sampai ke “gue mau ide gue disetujuin banyak orang. Nih gue ada proposal ke perusahaan biar gue dapet kucuran dana”, dan sebagainya.

d. Merasakan keseimbangan jika bisa mencapai ini

Iya walaupun agak sedikit sulit, bahkan harus bagi-bagi badan dan waktu supaya balance. Keseimbangan ditandai dengan adanya rasa puas dan ikhlas dalam melakukan itu semua, serta berkeinginan besar untuk kontribusi lebih besar.  

Tak jarang, efek samping “keseimbangan” ini menimbulkan hal-hal yang bakal kejadian, berupa pengorbanan nilai akademis (jika masih mahasiswa), kecemburuan sosial, maupun respon negatif dari orang lain (diremehkan, dianggap “gila”).  

Manusia sepertinya ditakdirkan multitask, sampai harus bisa mengatur diri sampai negara. Pun ketika bersama teman, keluarga, pasangan, atau rekan kerja. Tentu jadi tahu mana yang diprioritaskan, kan? Semua bisa ditentukan berdasarkan seberapa kenal terhadap diri sendiri, dan seberapa sering diri dilatih untuk memutuskan sesuatu.  

Penutup

Keempat poin tersebut adalah hal prinsip yang sering terlupakan bagi sebagian orang. Nggak sengaja, saya menemukan makna teks itu, dalem banget. Sampai-sampai dibilang begini:  

Setelah jujur pada keinginannya, barulah meluruskan kata hatinya. Setelah meluruskan kata hatinya, barulah membina diri sendiri. Setelah membina diri sendiri, barulah menata keluarga.  

Sungguh, membina diri sendiri itu tersulit pertama sebelum menata keluarga, tidak seperti yang dikatakan akun-akun yang lagi ngehits di kiriman Instagram atau beranda LINE.  

Selamat mempelajari diri dan keseimbangannya 🙂     

***

Referensi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *