Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Dari Merapi

Bunga edelweis kering. (Foto: Nadia K. Putri)

Empat tahun pasca erupsi Gunung Merapi, perlahan lumut mulai bertumbuh. Bunga-bunga edelweis dibudidayakan. Turis berdatangan untuk menyaksikan bukti sejarah kemegahan Gunung Merapi yang tak bisa ditandingkan.

Baru kali pertama itulah saya melihat langsung wujud bunga edelweis yang dijual oleh penduduk setempat. Sempat tak yakin apakah bunga tersebut asli bunga edelweis, saya cepat-cepat potret agar suatu saat bisa mencari informasi tentang bunga itu.

Beberapa tahun kemudian, rasa penasaran terhadap bunga edelweis mulai membuncah. Rupa-rupanya bunga ini adalah indikator seberapa “sehat” lingkungan alam sekitar gunung. Dalam arti, bunga edelweis merupakan faktor penentu seberapa seimbang interaksi manusia dengan alam, dan gambaran masa depan flora yang akan punah.

Bunga edelweis hanya bertahan dalam jangka waktu pendek, tak seperti bunga lain. Pasca bunga mekar, kelopak bunga akan terbang dan hilang seperti debu. Di beberapa artikel, justru di situlah letak keindahan bunga edelweis.

Ada-ada aja ya. Padahal cantik banget.

Tak hanya itu, bunga edelweis yang ada di negeri kita beda jauh dengan yang ada di pegunungan-pegunungan di Benua Eropa. Dari segi spesies, bunga edelweis yang kerap ditemukan pendaki di Bromo, Papandayan, Merapi, dsb adalah spesies Anaphalis javanica, yang berarti bunga edelweis yang tumbuh di daratan Pulau Jawa. Sedangkan Leontopodium nivale merupakan bunga edelweis yang tumbuh di daratan pegunungan Eropa. Misalnya Rumania, Austria, Bulgaria, Swiss, dan Slovenia.

Foto bunga edelweis yang saya ambil ketika berlibur di tahun 2014 juga menunjukkan ada rasa ngeri dan khawatir. Saat itu, abu vulkanik yang masih tersisa di sekitar tempat wisata, membuat saya harus sedia masker. Dalam cuaca terik, abu tersebut mudah beterbangan dan tak jarang terhempas ke mata hingga memerah. Kacamata sangat dibutuhkan agar terhindar dari kelilipan.

Salah satu kutipan di museum peninggalan korban Gunung Merapi. (Foto: Nadia K. Putri)
Tepat seminggu lalu, Gunung Merapi kembali batuk. Tanpa ada tanda-tanda, ia mengagetkan seluruh penduduk Yogyakarta yang sedang asyik menjalani aktivitas masing-masing. Beruntung, batuknya Gunung Merapi sempat tak membuat masyarakat harus evakuasi. Letusan freatik yang diberitakan oleh media massa, memang hampir tidak bisa diprediksikan layaknya letusan magmatik tahun 2010 lalu. 
Baik bunga edelweis dan letusan Gunung Merapi merupakan satu entitas besar yang merefleksikan seberapa tahan kita dengan dinamika alam. Mungkin jangan hanya terlena dengan keindahan dan kesuburan saja. Dibalik itu, ada hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan. 
Masih mau bertemu bunga edelweis dan Gunung Merapi? Latihan kepekaan dulu yuk!
**
Referensi
  



Tulisan ini adalah bentuk kontribusi dalam Challenge Post Komunitas Nulisyuk Angkatan 6. 


Tema hari ke-10: Edelweiss

Hashtags
#Survivalbatch6
#keepalive
#PnFB_2
#nulisyukbatch6
#day10
#Edelweiss

Anda berminat bergabung di komunitas Nulisyuk? Yuk mari kunjungi Instagramnya di @nulisyuk

Selamat menulis! 🙂  

6 Comments on “Dari Merapi”

  1. Seumur hidup belum pernah lihat edelwies, padahal pengen banget. Ayo bareng latih kepekaan, mna tw bsa daki ke merapi dan lhat edelwies. Makasih sharingnya. Salam, muthihauradotcom

  2. Sama, saya juga pengen banget daki gunung dan lihat edelweis. Kita latih dulu kepekaan supaya pas daki lancar.

    Terima kasih sudah berkunjung kak Muthi 🙂

  3. Wah sama ini, saya seumur hidup belum pernah megang edelwies, padahal cita-cita terbesar adalah naik gunung, tapi nggak kesampaian 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *