Nadia K. Putri

Karena semua cerita punya hatinya. Cerita soal di balik layar

Pengunjung berpose dengan sepeda ontel di kawasan objek wisata Kota Tua, Jakarta. Foto hanya keterangan, anggap saja sedang berboncengan. (Foto: Nadia K. Putri)

Setelah Kota Tua, Lalu Kemana?

foto
Setelah keliling motret, lalu kemana?
Pertanyaan itu menggema di telinga, kemana ya? 

Kemana ya? 

Suasana sekitar objek wisata Kota Tua sebenarnya begitu-begitu saja. Pemandangan yang berkesan bagi sebagian orang adalah kawanan burung merpati yang turun untuk makan dedak. Tapi, ke Kota Tua bukan hanya menyaksikan itu saja kan?
Putar otak, putar otak! Pasti ada yang bisa dipotret di sini.
Pengunjung asyik berpose natural bersama sepeda ontel di objek wisata Kota Tua, Jakarta Barat, Jakarta. 
Penyewa sepeda ontel yang gembira riang? Mengapa tidak? Ada rombongan anak SD yang kebut-kebutan mengendarai sepeda. Ada sepasang suami-istri yang ke-gep sadar kamera. Padahal sang suami sedang minum. Saya pun mengangguk sambil senyum, isyarat meminta izin untuk mengabadikan momen bersama mereka.
Ah, ini baru beberapa. Ayo coba lagi!
Benar saja, saya pun keluar dari lapangan Museum Fatahillah yang luas dan megah itu. Kemudian menyusuri jalan gang yang tembus ke zebra cross. Di depan zebra cross, saya melihat ada tukang bakso, Satpol PP, seniman yang tubuhnya dicat perak dan emas. Saya kelliling lagi menuju jalan arah Museum Bank Indonesia. Siapa tahu ada kejutan.
Seorang bapak duduk santai depan halaman gedung. Gedung ini berdekatan dengan pusat suvenir dan kuliner UMKM Kota Tua, Jakarta Barat, Jakarta. 
Matahari sore adalah waktu yang yang baik untuk memotret. Cahaya yang masuk ke tangkapan layar kamera akan tampak dramatis. Ada pemandangan pejalan kaki, metromini ngetem, penukar uang depan Museum BI, dan seorang bapak yang duduk santai.
Semua skena tidak direncanakan, justru itulah perlu menghadapi situasi “sulit”. Iya, mungkin ini sulit bagi seorang yang agak pendiam, sulit senyum, gagap depan umum, dan masalah komunikasi lainnya. Di sinilah perlu bahasa tubuh, sedikit saja. Entah senyum, anggukan ramah, tatapan mata yang tidak memata-matai, dan bahasa tubuh yang santai. Tidak mencurigakan bagi orang asing.
Supaya tidak terkesan wartawan atau intel, dan berakhir pada pertanyaan “fotonya buat apa sih?”
Iya ya, fotonya buat apa sih? Lantas, bagaimana ya menjawabnya dengan diplomatis, lugas, dan langsung kena sasaran?
Pernah suatu kali, saya mengikuti sebuah acara hunting foto oleh sebuah komunitas di kota Bekasi. Komunitas ini berburu foto di pasar-pasar yang ada di kota tersebut. Komunitas ini mempunyai inisiasi yang keren untuk memulai latihan foto, tentunya menyasar pada genre ala-ala foto jalanan (street photography) dan human interest.
Ketika saya dan teman-teman komunitas berpencar di Pasar Rawa Bebek, Kranji, Bekasi, tibalah seorang ibu bertanya demikian, “fotonya buat apa sih mbak?”
“Buat koleksi aja bu, buat latihan juga.”
“Oh gitu ya,” ujarnya sambil senyum penasaran.
**
Lalu setelah motret, mau keliling kemana lagi?
Lelahlah, Ferguso. Opsi terakhir adalah menyaksikan para pengunjung menikmati tempat wisata ibukota. Saya duduk di bawah pohon rindang, dekat para penyewa sepeda ontel dan topi bundar. Rupanya tidak terasa ya, nyaris 3-4 jam berjalan kaki dengan kondisi otot bahu agak tertekan. Maklum, masih belum berjodoh dengan tas kamera. Lagi-lagi, saya tidak sengaja menguping obrolan ibu-ibu soal pengobatan asam urat.
Duh, duh, ingat-ingat umur deh kalau begini mah.

Anak dan orang tuanya. Sudah terlalu sore, banyak yang sudah pulang, tapi ada yang masih tetap tinggal di Kota Tua. 

Usai istirahat, saya lanjut jalan ke Stasiun Jakarta Kota. Sudah terlalu sore, semoga bisa bertemu kejutan-kejutan lain di Kota Tua. 

3 Comments on “Setelah Kota Tua, Lalu Kemana?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *