Hunting foto di Pasar Bukittinggi, ramai-ramai bersama keluarga. Lebih nyaman di pagi hari karena udaranya sejuk. Ini yang saya rekam.
Tepat pada Januari 2019 lalu, om saya menikah di pinggiran kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Istrinya tinggal di sebuah kampung yang tak jauh dari kota tersebut. Masih bisa dijangkau kendaraan pribadi kok.
Sebelum acara akad nikah si om dan istri, saya dan keluarga dari pihak ibu mampir dulu ke Pasar Bawah. Pasar ini cukup ramai di akhir pekan dan waktu itu saya baru sadar kalau banyak hal yang bisa saya eksplor di pasar.
Hunting foto di pasar hanya dengan ponsel
Btw, karena berada di ruang publik yang gampang terdistraksi, saya hanya berani membawa ponsel untuk memotret. Seperti biasa, saya hunting foto di pasar sembari melatih kepekaan saya terhadap lingkungan sekitar.
Kenapa tidak bawa kamera DSLR? Berat hihi! Dan juga tidak sefleksibel kamera ponsel. Terkadang, saya harus ganti-ganti lensa hanya untuk merekam detail. Berbeda dengan ponsel, cukup zoom saja.
Masih bisa merekam motion
Saya mengandalkan ponsel iPhone 5s yang baterainya waktu itu masih kuat seharian. Pagi itu, saya dan tante keliling sebentar untuk mencari dadiah, semacam yogurt atau fermentasi produk susu dari kerbau. Sayangnya, dadiah tidak ada.
Setelah jalan agak lama, kami kembali ke titik semula, yakni lapak kerupuk jangek (olahan dari kulit sapi atau kerbau), sanjai (olahan dari singkong), dan aneka snack. Sambil menyusuri jalan, saya melihat langsung jengkol bertumpah ruah di meja berlapis terpal seperti di foto ini.

Ibu penjual ini menata rapi jengkol ke wadah-wadah kecil. Kemungkinan sih, jengkolnya dipilih yang terbaik, lalu dipisahkan ke keranjang sebelahnya. Kejadiannya cukup spontan karena saya harus jalan cepat supaya tidak ketinggalan tante di depan. Keadaan waktu itu memang tumpah ruah, ramai betul. Kalau nyasar, bingung deh, apalagi saya bukan warga lokal.
Baca juga: Kehidupan Pasar: Pameran Foto Hunting Pasar 2019
Juga bisa freezing, apa itu?
Tidak hanya jengkol, saya juga menyaksikan puluhan kentang tergelar begitu saja di atas terpal. Pembeli tinggal pilih mana kentang yang bagus kualitasnya. Lalu, menimbangnya sesuai kebutuhan. Contohnya seperti ini.

Sama keadaannya saat memotret jengkol, kalau yang ini kejadiannya begitu cepat. Untungnya, ponsel saya masih bisa membekukan (freeze) momen ini. Sebagai anak rantau yang lama tinggal di kota dan jarang ke pasar induk, sepertinya ini menjadi momen yang tidak terulang dan belum tentu punya kesempatan memotret tanpa beban (bawa belanjaan).
Selain soal teknis, saya juga merekam rasa
Rasa di sini sebenarnya lebih ke suasana saat saya baru sampai di pasar tersebut. Memang masih pagi, udaranya enak, sejuk, dan ramainya pasar itu lho. Kadang bikin saya insekyur kalau jalan dan hunting foto di pasar sendirian.
Saya coba dengan zona nyaman saya, yakni bermain siluet dan bayangan seperti pada kedua foto ini.
Foto sebelah kiri, ketika kami menyusuri jalan sempit menuju Pasar Bawah. Pintu masuknya dari Pasar Atas dulu. Di sisi bawah siluet rumah gadang, sebenarnya itu pagar seng. Kalau tidak salah, komplek pasar di sekitaran Jam Gadang sedang direnovasi pasca kebakaran. Jadi, suasananya berbeda sekali dari tahun-tahun sebelumnya. Saya merasa, pasar lebih sepi, entah kenapa.
Sementara di foto sebelah kanan, ini ketika kami baru sampai Pasar Bawah. Kebetulan sekali, saya langsung notice garis dan bayangan seperti di foto yang mengarah ke seorang bapak di sisi kiri foto. Semacam membentuk leading line begitu deh.
Sehingga, membuat bapak tersebut menjadi pusat perhatian berkat garis yang mengarah padanya. Sementara di sisi kanan bawah, ada gerobak bertenda merah, menjadi tidak tampak karena bayangan dari tangga (iya, di belakang saya memang ada tangga jembatan penyeberangan).
Kesan dari kedua foto ini sih, lebih kepada suasana pagi di pasar yang ramai, walau sebenarnya ada bagian-bagian yang belum terjamah pengunjung. Entah itu karena penjual belum menempati ruang kosong tersebut.
Dulu masih bisa hunting foto di pasar, akankah nanti kembali normal?
Cuplikan foto di atas direkam pada tahun 2019, setahun sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Saya merasa, tahun itu sebagai tahun jenuh memotret, entah kenapa. Semua orang berlomba-lomba memotret dari yang paling edgy hingga estetik. Tidak lupa juga filter warna agar makin keren.
Saya juga ingin seperti itu. Tapi hunting foto di pasar juga membuat saya tidak bisa banyak-banyak berekspektasi since rentan terkena suitan iseng atau hal-hal yang kurang nyaman. Jadinya, saya merasa tidak aman. Mau eksekusi foto seperti yang ada di media sosial pun juga, tidak bisa sekali datang kan?
Namun karena saat itu saya sedang liburan bersama keluarga, “main” tanpa intensi untuk hunting foto di pasar, dan murni untuk mencari kebutuhan barang, jadi saya lebih menikmati perjalanan saat itu. Bahkan saya juga senang sekali melihat ikan-ikan kering di kardus yang siap jual. Sederhana sekali.

Sebagai anak rantau, rasanya ingin sekali balik kampung dan tinggal berlama-lama. Tapi sayangnya, saya tidak tahan sama omongan tetangga hihi!
Kapan lagi ya bisa hunting foto di Pasar Bukittinggi?